Tongkat pusaka punya Pangeran Diponegoro pada akhirnya dikembalikan ke Indonesia.
Pusaka bernama tongkat Kanjeng Kyai Tjokro (Cakra) itu sudah disimpan sepanjang
183 th. oleh Jean Chretien Baud, pakar waris keluarga Baud di Belanda.
Diambil dari laman resmi Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan, Selasa 10 Februari 2015, tongkat dengan ujung cakra itu diserahkan oleh anggota keluarga Baud pada Menteri Pendidikan serta Kebudayaan, Anies Baswedan, yang mewakili pemerintah Indonesia.
Diambil dari laman resmi Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan, Selasa 10 Februari 2015, tongkat dengan ujung cakra itu diserahkan oleh anggota keluarga Baud pada Menteri Pendidikan serta Kebudayaan, Anies Baswedan, yang mewakili pemerintah Indonesia.
“Saya bersukur, bangga, serta terharu, dan tak menganggap dapat mewakili bangsa terima balik tongkat pusaka Pangeran Diponegoro, ” kata Anies waktu terima tongkat Kyai Tjokro di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis waktu lalu.
Anies memberikan, semua orang-orang Indonesia mesti bangga serta bersukur dengan kembalinya tongkat pusaka ini. Dengan kembalinya pusaka itu, Anies mengharapkan dapat jadi peluang anak-anak muda di Tanah Air untuk dapat lebih mengapresiasi perjuangan Pangeran Diponegoro.
“Kejadian ini mungkin saja seperti acara umum saja, namun ke depan kita bakal lihat ini jadi suatu hal yang bersejarah, serta Indonesia mesti bangga, ” ucap dia.
Sepanjang di Belanda, tongkat ini disimpan oleh keluarga Baud. Tongkat ini
diberikan pada leluhur Baud pada th. 1834, saat itu juga sebagai hadiah dalam suatu
periode yang bergejolak disebabkan ada persaingan politik serta jalinan
kekuasaan kolonial. Bersamaan berjalannya saat serta bertukarnya generasi, mulai
sejak ayahanda Jean wafat dunia pada th. 2012, tongkat itu disimpan dirumah
saudara wanita bernama Erica.
Pada bln. Agustus 2013, pihak keluarga dihubungi oleh Harm Steven dari Rikjsmuseum yang mengemukakan perihal asal usul tongkat itu. Lalu step paling akhir diawali, tongkat itu di check oleh beberapa pakar yang meyakinkan asal-usul tongkat yang pernah dipunyai oleh Pangeran Diponegoro.
Juga sebagai pakar waris dalam beragam masa histori, keluarga Baud sadar begitu utamanya penemuan ini serta tanggung jawab untuk menjaga tongkat pusaka itu. Pihak keluarga sudah mengulas arti serta konteks pemberian tongkat pusaka itu dari leluhur.
Ketentuan untuk memberi tongkat pusaka itu balik pada Bangsa Indonesia juga nampak. Keputusuan itu di ambil, serta pameran yang didedikasikan pada kehidupan serta karya Pangeran Diponegoro yang di gelar di Galeri Nasional, Jakarta, jadi waktu yang pas untuk menyerahkan balik tongkat itu pada Bangsa Indonesia.
Keluarga Baud mengharapkan bahwa penyerahan tongkat pusaka pemimpin perlawanan pada 1825-1830 ini jadi momentum yang utama dengan cara simbolis dalam masuk masa baru yang berisi sama-sama menghormati, persahabatan, serta kebersamaan.
Tombak, pelana, jubah
Baca Juga:
Terkecuali tongkat ziarah, pameran juga membawa benda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro yang lain. Sebut saja tombak Rondhan serta pelana kuda, yang pada awal mulanya juga ada di Belanda. Artefak-artefak itu didapat saat pasukan gerak cepat Hindia Belanda, yang di pimpin Mayor AV Michiels, menyergap Diponegoro pada 11 November 1829.
Diponegoro sukses melepaskan diri. Tetapi, tombak Rondhan, peti baju, kuda, serta barang bernilai lain tak dibawa dan. Pasukan penjajah merampas serta menyerahkan artefak bernilai itu pada Raja Belanda Willem I (yang bertakhta th. 1813-1840). Pada th. 1978, Ratu Belanda Juliana kembalikan tombak Rondhan serta pelana kuda itu ke Indonesia.
Pelana kuda itu menaruh cerita Diponegoro juga sebagai penunggang kuda hebat. Dia mempunyai istal luas di tempat tinggalnya di Tegalrejo. Kuda hitam dengan kaki putih bernama Kiai Gentayu dikira juga sebagai pusaka hidup Sang Pangeran.
Sesungguhnya Diponegoro juga mewariskan jubah Perang Sabil. Sayangnya, jubah memiliki bahan sutra shantung serta cinde memiliki ukuran 200 X 100 sentimeter itu tak turut dipamerkan. Benda itu terus ada di Museum Bakorwil II Magelang.
Cerita dibalik jubah itu juga menarik. Jubah itu dirampas waktu penyergapan oleh Mayor AV Michiels di lokasi pegunungan Gowong, samping barat Kedu, 11 November 1829. Sesudah perang, jubah dengan pinggir brokat yang konon dijahit oleh gundunya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil. Sepanjang lebih seabad keluarga Diponegoro menaruh jubah itu serta dipinjamkan permanen pada th. 1970-an pada Museum Bakorwil II.
Pada bln. Agustus 2013, pihak keluarga dihubungi oleh Harm Steven dari Rikjsmuseum yang mengemukakan perihal asal usul tongkat itu. Lalu step paling akhir diawali, tongkat itu di check oleh beberapa pakar yang meyakinkan asal-usul tongkat yang pernah dipunyai oleh Pangeran Diponegoro.
Juga sebagai pakar waris dalam beragam masa histori, keluarga Baud sadar begitu utamanya penemuan ini serta tanggung jawab untuk menjaga tongkat pusaka itu. Pihak keluarga sudah mengulas arti serta konteks pemberian tongkat pusaka itu dari leluhur.
Ketentuan untuk memberi tongkat pusaka itu balik pada Bangsa Indonesia juga nampak. Keputusuan itu di ambil, serta pameran yang didedikasikan pada kehidupan serta karya Pangeran Diponegoro yang di gelar di Galeri Nasional, Jakarta, jadi waktu yang pas untuk menyerahkan balik tongkat itu pada Bangsa Indonesia.
Keluarga Baud mengharapkan bahwa penyerahan tongkat pusaka pemimpin perlawanan pada 1825-1830 ini jadi momentum yang utama dengan cara simbolis dalam masuk masa baru yang berisi sama-sama menghormati, persahabatan, serta kebersamaan.
Tombak, pelana, jubah
Baca Juga:
Bagaimana Ilmu Pelet Bereaksi Pada Wanita? Inilah Penjelasannya
Terkecuali tongkat ziarah, pameran juga membawa benda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro yang lain. Sebut saja tombak Rondhan serta pelana kuda, yang pada awal mulanya juga ada di Belanda. Artefak-artefak itu didapat saat pasukan gerak cepat Hindia Belanda, yang di pimpin Mayor AV Michiels, menyergap Diponegoro pada 11 November 1829.
Diponegoro sukses melepaskan diri. Tetapi, tombak Rondhan, peti baju, kuda, serta barang bernilai lain tak dibawa dan. Pasukan penjajah merampas serta menyerahkan artefak bernilai itu pada Raja Belanda Willem I (yang bertakhta th. 1813-1840). Pada th. 1978, Ratu Belanda Juliana kembalikan tombak Rondhan serta pelana kuda itu ke Indonesia.
Pelana kuda itu menaruh cerita Diponegoro juga sebagai penunggang kuda hebat. Dia mempunyai istal luas di tempat tinggalnya di Tegalrejo. Kuda hitam dengan kaki putih bernama Kiai Gentayu dikira juga sebagai pusaka hidup Sang Pangeran.
Sesungguhnya Diponegoro juga mewariskan jubah Perang Sabil. Sayangnya, jubah memiliki bahan sutra shantung serta cinde memiliki ukuran 200 X 100 sentimeter itu tak turut dipamerkan. Benda itu terus ada di Museum Bakorwil II Magelang.
Cerita dibalik jubah itu juga menarik. Jubah itu dirampas waktu penyergapan oleh Mayor AV Michiels di lokasi pegunungan Gowong, samping barat Kedu, 11 November 1829. Sesudah perang, jubah dengan pinggir brokat yang konon dijahit oleh gundunya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil. Sepanjang lebih seabad keluarga Diponegoro menaruh jubah itu serta dipinjamkan permanen pada th. 1970-an pada Museum Bakorwil II.
Mengenai Penangkapan Diponegoro
Benda bersejarah lain yang menarik perhatian pengunjung dalam pameran ini yaitu lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Karya ini dipamerkan berbarengan karya seni rupa dari 21 perupa Indonesia.
Kurator Jim Supangkat menyampaikan, lukisan itu di buat pada 1856-1857 berdekatan dengan meninggal dunianya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya itu dihadiahkan pada Raja Belanda Willem III (1817-1890). Pada th. 1978, Ratu Juliana kembalikan lukisan pada Indonesia.
Sesungguhnya lukisan itu memiliki kandungan kritik tersembunyi. Raden Saleh mencemooh siasat tidak etis pada penangkapan Diponegoro serta kebohongan lukisan Nicolaas Pieneman dengan tema sama th. 1835. Dari yang saat ini tersingkap dari lukisan itu, kita juga tahu bahwa berita penangkapan Diponegoro menyebar ke Eropa.
Benda bersejarah lain yang menarik perhatian pengunjung dalam pameran ini yaitu lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Karya ini dipamerkan berbarengan karya seni rupa dari 21 perupa Indonesia.
Kurator Jim Supangkat menyampaikan, lukisan itu di buat pada 1856-1857 berdekatan dengan meninggal dunianya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya itu dihadiahkan pada Raja Belanda Willem III (1817-1890). Pada th. 1978, Ratu Juliana kembalikan lukisan pada Indonesia.
Sesungguhnya lukisan itu memiliki kandungan kritik tersembunyi. Raden Saleh mencemooh siasat tidak etis pada penangkapan Diponegoro serta kebohongan lukisan Nicolaas Pieneman dengan tema sama th. 1835. Dari yang saat ini tersingkap dari lukisan itu, kita juga tahu bahwa berita penangkapan Diponegoro menyebar ke Eropa.
Terkecuali lukisan penangkapan, dipertunjukkan juga dua lukisan lain karya Raden Saleh, yakni ”Harimau Minum” (1863), serta ”Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi serta Merbabu” (1871). Lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” serta ”Harimau Minum” yaitu koleksi Istana Negara, sedang ”Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi serta Merbabu” koleksi entrepreneur Hashim Djojohadikusumo. Ketiga karya itu direstorasi pakar dari Jerman pada th. 2013 atas prakarsa Yayasan Arsari Djojohadikusumo.
Seluruhnya benda dalam pameran ”Aku Diponegoro” sukses menghidupkan balik masa lalu bakal sosok pahlawan itu. Masuk ruangan pameran, lingkaran histori terasanya berulang.